Bismillah.
Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Salawat dan salam semoga tercurah kepada hamba dan utusan-Nya yang menjadi lentera kebenaran bagi umat akhir zaman. Amma ba’du.
Suatu hal yang tidak samar bagi seorang muslim, bahwa nikmat yang Allah berikan kepada manusia adalah sangat banyak, terlalu banyak, bahkan tidak terhitung jumlahnya. Mengingkari nikmat Allah yang tercurah kepada diri kita sama saja mengingkari keberadaan diri kita sendiri, sebagaimana dikatakan oleh para ulama bahwa terangnya siang adalah perkara yang tidak butuh kepada dalil. Kalau siang hari itu terang benderang dengan adanya matahari maka jika ada orang yang masih mencari dalil untuk membuktikan terangnya matahari tentu akalnya yang tidak beres…
Akan tetapi kebanyakan manusia tidaklah memahami dan mengenali nikmat kecuali sebatas apa-apa yang memenuhi kebutuhan jasmani mereka. Bagi mereka nikmat itu adalah makanan, minuman, cahaya, air hujan, tumbuhnya tanam-tanaman, kendaraan yang nyaman, rumah yang megah, tubuh yang sehat, dan segala bentuk kenikmatan dunia. Padahal, nikmat dunia ini pasti akan berakhir, sebagaimana sebatang pohon tempat berteduh musafir di tengah perjalanannya. Mungkin pohon itu akan tumbang suatu hari, atau akan hangus disambar petir, atau kehabisan sumber air, atau yang jelas si musafir akan pergi meninggalkannya cepat atau lambat…
Seorang sahabat yang mulia Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu’anhu menggambarkan kepada kita mengenai nikmat agung yang banyak diremehkan oleh manusia. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya Allah menyelamatkan kalian dengan Islam dan dengan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari). Nasihat serupa juga diutarakan olen Mujahid rahimahullah. Beliau mengatakan, “Aku tidak mengetahui diantara kedua buah nikmat ini mana yang lebih agung; yaitu ketika Allah beri hidayah Islam kepadaku ataukah ketika Allah selamatkan aku dari berbagai penyimpangan hawa nafsu/bid’ah ini.” (HR. Darimi) (lihat Syarh Kitab al-Urwah al-Wutsqa, hlm. 15)
Ya, nikmat tauhid dan sunnah adalah nikmat yang terlalu besar untuk dilukiskan dengan kata-kata atau digambarkan dengan bait-bait puisi dan mutiara kata. Bagaimana ia bukan menjadi nikmat apabila seorang hamba yang penuh dosa dengan 99 gulungan catatan dosa dan kekejian dimana setiap gulungan sejauh mata memandang bisa terampuni dosa-dosanya karena tauhid yang dia amalkan dalam kehidupan? Bagaimana tauhid tidak tercatat dalam daftar nikmat dan karunia apabila dengan sebab tauhid itulah Allah berkenan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya yang datang menghadapnya dengan dosa sebesar bumi? Betapa besar nikmat tauhid ini sampai-sampai seorang penghuni surga yang terakhir masuk ke dalamnya terheran-heran bahwa Allah akan memberikan kepadanya sepuluh kali lipat kenikmatan terindah di dunia ketika dia berada di dalam surga. Itu pun tidak berhenti, Allah masih berikan kepada mereka tambahan nikmat-Nya yaitu memandang Wajah-Nya yang mulia; dimana tidak ada suatu nikmat yang lebih dicintai oleh para penduduk surga melebihi nikmat memandang Wajah Rabb pencipta langit dan bumi….
Karena itulah sangat-sangat wajar apabila generasi terdahulu dari umat ini adalah kaum yang sangat mengenali hakikat dan besarnya nikmat tauhid dan sunnah yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya. Mereka khawatir apabila nikmat itu lenyap dan tercabut dari dirinya. Mujib bin Musa al-Ashbahani rahimahullah mengatakan : Suatu ketika aku menemani Sufyan ats-Tsauri dalam perjalanan menuju Mekah. Aku melihat dia sering sekali menangis. Aku bertanya kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, tangisanmu ini apakah ia disebabkan takut akibat dari dosa-dosa?!” maka dia pun mengambil sebilah kayu/tongkat dari atas kendaraan yang dia naiki lalu dia lemparkan. Dia berkata, “Sesungguhnya dosa-dosaku lebih ringan bagiku daripada perkara ini. Karena yang paling aku khawatirkan adalah apabila tauhid tercabut dari dalam diriku.” (HR. Abu Nu’aim dalam Tarikh Ashbahan dan Baihaqi dalam Syu’abul Iman) (lihat Syarh Kitab al-Urwah al-Wutsqa, hlm. 3-4 karya Syaikh Shalih bin Abdullah al-Ushaimi hafizhahullah)
Begitu pula nikmat Sunnah; yaitu mengikuti petunjuk dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia merupakan nikmat besar yang sangat berharga dalam kehidupan. Bukankah ketika terjadi perselisihan yang diwasiatkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita adalah agar selalu berpegang dengan sunnah/ajaran beliau? Oleh sebab itu dikatakan oleh salah seorang sahabat nabi, “Seandainya kalian meninggalkan sunnah/ajaran nabi kalian pasti kalian tersesat.” Imam Malik rahimahullah juga mengatakan, “as-Sunnah ibarat kapal Nabi Nuh. Barangsiapa menaikinya akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal darinya maka dia pasti tenggelam/celaka.”
Nikmat tauhid dan sunnah inilah yang terrangkum di dalam dua kalimat syahadat yang kita ucapkan setiap hari dan dikumandangkan oleh para muadzin sholat lima waktu dari masjid-masjid kaum muslimin. Kalimat laa ilaha illallah mengandung pedoman tauhid; yaitu wajibnya beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan segala bentuk syirik. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sembahlah Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36). Adapun kalimat anna Muhammadar rasulullah berisi kaidah sunnah; yaitu wajibnya beribadah kepada Allah hanya dengan mengikuti sunnah/ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dan menjauhi bid’ah-bid’ah. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka ia pasti tertolak.” (HR. Muslim)
Sebagaimana nikmat tauhid dan sunnah inilah yang setiap hari kita minta kepada Allah di dalam sholat kita. Ketika kita berdoa ‘ihdinash shirathal mustaqim’ yang artinya, “Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus.” Jalan lurus adalah jalan orang-orang yang diberi nikmat tauhid dan sunnah. Jalan orang yang mengenali kebenaran dan mengamalkannya. Bukan jalannya Yahudi atau Nasrani atau berbagai aliran sesat dan pemahaman yang menyimpang dari agama. Orang-orang Yahudi dan Nasrani menyimpang dari jalan yang lurus karena kekafiran dan kesyirikan mereka kepada Allah. Yahudi mengatakan bahwa Uzair anak Allah, sementara Nasrani mengatakan bahwa Isa anak Allah.
Jalan yang lurus juga bukan jalan kaum penebar bid’ah dan kesesatan, karena Allah menyebut para pelaku bid’ah mengangkat sekutu-sekutu bagi Allah -dalam penetapan ibadah- yang menetapkan syari’at di dalam agama ini sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah. Oleh sebab itu para ulama kita mengatakan, “Bid’ah lebih dicintai oleh Iblis daripada maksiat, karena maksiat masih bisa diharapkan taubat pelakunya, sedangkan bid’ah sulit diharapkan taubat pelakunya.” Imam Malik rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang membuat suatu ajaran baru/bid’ah yang dia anggap hal itu sebagai sebuah kebaikan, maka pada hakikatnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah.”
Dari sinilah kita bisa mengetahui -saudaraku yang dirahmati Allah- bahwa sesungguhnya ajaran Islam ini membawa kebahagiaan yang sejati bagi umat manusia. Islam merupakan petunjuk dari Allah bagi manusia yang akan menyelamatkan mereka dari kesesatan dan kebinasaan. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123). Islam nikmat yang terbesar bagi manusia, seandainya manusia itu mau menyadarinya dan mengikuti ajaran-ajarannya.
Islam membawa ajaran tauhid yang murni dari kotoran syirik dan kekafiran. Mengajak manusia untuk mengabdi kepada Allah semata dan membebaskan hati dari perbudakan kepada hawa nafsu dan setan. Sebaliknya, barangsiapa yang berpaling dari agama ini dan lebih memilih untuk mengikuti langkah-langkah setan dan tertipu oleh angan-angan semu dan rayuannya, maka mereka akan terjatuh dalam kehinaan dan kesengsaraan. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :
Mereka lari dari penghambaan yang menjadi tujuan mereka diciptakan
Maka mereka pun terjatuh dalam penghambaan kepada nafsu dan setan
Sungguh benar ucapan Khalifah Umar radhiyallahu’anhu, “Kami adalah suatu kaum yang telah dimuliakan oleh Allah dengan Islam ini. Maka kapan saja kami mencari kemuliaan dengan selain Islam maka pasti Allah akan menghinakan kami.” (HR. Hakim dalam al-Mustadrak)
Semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk hidup di atas Sunnah dan mati di atas Islam….